Thursday, May 20, 2010

THERE’S ALWAYS

Kalau saja malaikat Atid [--yang dalam kepercayaan saya adalah pencatat keburukan manusia…] dianugerahi Tuhannya suatu emosi untuk mencucurkan air mata, mungkin bumi ini tak perlu khawatir bahwa cadangan airnya surut menghadapi global warming yang saat ini semakin menggila. Karena saya yakin bahwa dia akan iba menangisi dosa manusia yang sudah sebegitu menumpuk dalam catatan tugasnya. Ambil satu misalnya dosa besar untuk selalu berkata tak benar.

Dalam catatan rim, kebohongan saya mungkin sudah tak bisa dibuat satuan lagi. Entah berapa kali saya sudah tak jujur pada orang lain –bahkan pada diri sendiri. Contoh saja, kebohongan terbesar dan sampai sekarang belum pernah saya sesali namun selalu saya ulangi adalah saat seenak jidat mengisi “I have read and agreed to the Terms of Service” ketika sedang melakukan suatu registrasi. –padahal melihat isinya pun saya tidak pernah [berniat]. –grin.

Saya akan tersedak badak untuk mengetahui hitungan jumlah hinaan yang telah saya lontarkan pada seorang kawan yang selalu dengan cerdas diakhiri dengan kata kata keramat untuk bilang, “Saya tadi hanya bercanda..!!” hanya untuk menghindari kepala saya dilempar keranda. Padahal yang saya maksud bercanda dalam mengatai seseorang itu murni benar ingin saya ucapkan sepenuh jiwa. Menyembunyikan sedikit perasaan sayang tak tertahankan namun diujung lidah malah berubah bunyi menjadi, “Saya tidak peduli…!!” cuma karena dimakan harga diri.

Bertukar Peran Korban

Hanya dengan alasan menjaga perasaan kawan, kadang saya selalu membenarkan perkataan yang tersebut sering saya ucapkan. Namun lama lama saya dituntut untuk dipaksa sadar diri ketika omongan itu berganti meluncur dari pihak lawan dan saya bertukar peran sebagai objek kebohongan.

Seorang pujangga pernah berkata dalam sajaknya bahwa, “A true friend is someone who sees the pain in your eyes while everyone else believes the smile on your face”. Kali ini saya tidak ingin cuma jadi seorang guru SD yang dibodohi muridnya dengan percaya bahwa sang murid terlambat datang karena dia baru membantu mengantarkan seorang nenek yang tersesat di jalan untuk kembali kerumahnya. [pengalaman pribadi membohongi pendidik negeri]. Saya sungguh ingin sekali peka sebelum saya mati rasa untuk meyadari bahwa selalu ada sedikit LUKA ketika sahabat saya berkata, “SAYA BAIK BAIK SAJA…!!” setelah melalui perlakuan biadab yang saya perbuat padanya. Tolong maafkan saya.



---
p.s. diinspirasi dari gambar yang telah diculik dari alamat ini

[Qt.]

Monday, March 1, 2010

SUPERFRIEND

I need your arms around me, I need to feel your touch … I need your understanding, I need your love, So much, … You tell me that you love me so, You tell me that you care, … But, when I need you…, Baby, You're never there

On the phone, Long long distance, Always through such, Strong resistance, … When first you say, You're too busy, I wonder if you, Even miss me

- Never There; Cake


Lagu itu dikirimkan oleh partner saya via e-mail beberapa minggu lalu setelah dia kembali dari liburan akhir pekan di Jakarta. –lengkap dengan lirik lagunya. Men-sukseskan saya untuk cukup melongo. Ternganga lebar sebesar bibir saya yang tebal.

Saya tidak pernah merasa sadar saya melakukan kesalahan yang dituduhkan sampai saya diingatkan kembali oleh dia mengenai teori dasyatnya tentang manajemen-prioritas-saya yang gagal total saya terapkan di dunia nyata nan fana ini. Bagaimana hebatnya dia melakukan aksi protes diam [walau sebenarnya opsi aksi jahit bibir jauh terkesan lebih dramatis] akan perilaku ajaib saya dimana saat dia berkunjung di akhir pekan itu, saya malah lebih memilih jalan bersama sahabat saya yang lainnya.

Dialah yang pertama kali mengatakan [--mengingatkan] bahwa perilaku saya yang berlebihan memuja kawan-kawan saya saat ini sudah dalam kasta diluar kewajaran. [kami perang dingin, kemudian – sempat terpikir untuk saling berbacokkan bahkan]

Superfriend [Wannabe]

Mungkin saya [sangat] terobsesi dan tergila gila akan mimpi bisa menjadi seorang kawan yang luar biasa bagi sahabat sahabat saya tercinta. Saya dipecundangi oleh kata “tidak” karena hampir tak mampu menolak permohonan seorang kawan dimana selama masih bisa saya upayakan, saya di-rodi kuat untuk memperjuangkan.

Saya trauma. Saya sudah [masih] tahu rasa sesalnya kehilangan salah seorang sahabat terbaik saya dimana dengan hebatnya saya telah membuatnya kecewa di akhir perjalanannya di dunia, saya malah jarang menemaninya. Dan saya terluka setiap membaca tulisan terakhirnya perihal kesepian mengenai teman-temannya yang sedang [sok] sibuk autis dalam masing dunianya. [saat itu saya memang sedang gemar berkeliaran bersama partner saya setiap harinya]. Dan Selesai. Lalu semua cerita itu tamat. Diakhiri dengan sahabat saya kemudian meninggalkan Bumi. Say goodbye kepada dunia dan saya dalam kondisi [saya] cacat sesal moral.

Saya merasa dihantam berton-ton beban dosa atas kehilangan ini. Saya ingin [sekali] memperbaiki diri menjadi sahabat yang baik untuk masing masing hati.

Pernah suatu saat ketika saya akan beribadah, seorang kawan mempertanyakan pada saya mengapa saya tidak mengajak sahabat saya [yang lainnya] untuk melakukan ritual yang serupa karena saat itu kami memang sedang pergi bersama. Saya bilang bahwa beribadah adalah prerogative manusia dan saya sangat menghormati integritas macam apa yang dilakukan sahabat saya pada kepercayaannya sendiri. Saya tidak dalam kondisi figur yang berhak mengingatkan, karena saya tak pernah mengandung dan memberi sahabat saya asupan makanan sejak dia dilahirkan. [kilah saya].

Lalu kawan saya bilang, bahwa itulah yang membuat hal mengenai menjadi “sahabat yang baik” dan “sahabat yang benar” adalah sesuatu yang berbeda arti baik makna leksikal maupun sekadar gramatikal. Sungguh tega saya membuat sahabat saya terlantar di jalan yang lebih terjal. Saya dihina tidak becus dalam mengingatkan kawan akan suatu kesalahan.

Superfriend [It’s Not Easy]

Sempat saya berbangga hati mengakui diri sebagai sahabat super yang sanggup melakukan apapun untuk orang orang yang saya cintai. Gemar mengakui kawan dekat sebagai sahabat, walau nyatanya, saya cuma mimpi. Keinginan saya untuk menjadi pahlawan itu tak lebih dari sekadar cari muka dan sok baik semata. Bahwa jauh dari lubuk hati ini, mengingatkan keburukan saja saya belum berani. Saya takut setengah mati dijauhi.

Dan saya berdiri sekarang hanya dengan menutupi aib setengah hati mengakui makna persahabatan saya yang hanya secuil ikan teri di pinggiran pantai pantai bumi. Malu malu tertahan menyangkal bahwa makna yang saya berikan terhadap arti sahabat sangatlah dangkal. Saya bukanlah hidup sebagai sahabat yang benar, tapi ironinya hanya sampai pada sekadar seorang kawan yang selalu penuh pembenaran.

Perang dingin saya dan partner saya lalu hari ditutup dengan kata-katanya yang membuat saya terbata-bata menelannya. “Cintailah saya seperti kamu mencintai sahabat sahabat kamu sebagaimana adanya. Karena saya ini hanya cemburu dan membuta dibuatnya”. [isak] Saya masih waras untuk malu dan berharu biru menanggapi kata-kata itu. Coba bantu saya menjawab bagaimana saya mencintainya dengan pincang dan tercela seperti yang sudah saya lakukan pada sahabat saya.

Anda diperbolehkan kasihan pada mental hidup saya yang menyedihkan. Mengiba dan berjuang mempertahankan cinta orang orang terdekat saya mati-matian. Lebih memilih menjadi “sahabat yang baik” tanpa keberanian jujur dalam perisai ketakutan kehilangan. Setidaknya mari ijinkan saya belajar untuk menjadi sahabat yang lebih benar meskipun resiko kehilangan akan membuat jantung saya terus kencang bergetar.

Dan ketahuilah, berpikiran naif memperjuangakan diri menjadi sahabat super dalam kilah seperti diri saya sungguhlah tak mudah.

…It’s not easy to be me

- Superman, It’s Not Easy; Five For Fighting

[Qt.]

Friday, November 20, 2009

A-LONE-LY

Homesick…? Dulu, kecerdasan saya mengartikannya sebagai: Rumah Sakit. –sigh. Sekarangpun saya belum mengerti bagaimana proses orang menyebutnya sebagai penyakit-merindukan-rumah.

Pernahkah saya…? ---Mungkin. Awalnya saya selalu mengira bahwa yang dimaksud dengan homesick adalah bahwa kita benar-benar merindukan rumah yang telah menyaksikan tumbuh kembang kita selama ini dari wujud bayi sampai menjadi seorang manusia. Namun tempo lalu, partner hati saya sedang meracau bahwa dia benar-benar homesick. ---beberapa bulan lalu dia baru dipindah tugaskan ke luar kota Jakarta. Lalu saya dengan sok bijaknya menyarankan untuk dia mengambil cuti beberapa hari agar bisa pulang ke kampungnya secepatnya---yang setahu saya berada di daerah Jawa Timur sana.

Dia diam, lalu dengan kacau mengatakan bahwa dia tidak ingin pulang ke rumahnya di Jawa. Dia sedang merindukan kawan kawan nya dikota ini rupanya –Jakarta. ---yang dalam hati, saya ingin protes bahwa Jakarta kan masih masuk dalam Pulau Jawa, tapi saya diam mendengarkan daripada saya dilempar kemenyan. Pun saya bingung saat itu untuk mendefinisikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “rumah” itu. Wujud batu-bata tertata yang ditinggali ketika dulu masih muda? Manusia yang didefinisikan sebagai orang-tua? Atau sekumpulan makhluk hidup yang kita anggap sebagai keluarga?

Alone

Sejatinya saya sangat senang jika sedang menemani partner saya tersesat ketika menjalankan hobinya mengabadikan sebuah gambar dalam kamera ---dulunya. Hedon bersama sahabat sahabat tercinta. Namun terkadang, saya jauh lebih suka untuk mengasingkan diri dari peradaban. Sometimes, I like being alone. Sejak saya berhubungan jarak jauh dan sempat kehilangan seorang sahabat terbaik saya dari muka bumi ini, saya lebih senang berjalan jalan sendiri. Menikmati keramaian dalam sepi. Duduk duduk tidak jelas di sudut Monas sambil mengamati perilaku ajaib penduduk ibukota ketika menikmati hari liburnya.

Ketika saya sedang sendirian, naluri saya benar benar kuat untuk meraba apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup ini. Memikirkan jalan untuk meraih mimpi mimpi yang ingin saya visualisasikan dari wujud maya selama ini. Dan menyemangati diri untuk selalu berupaya mencapai muqadis yang hakiki.

Sungguh ironi, karena dulu saya sangat –super-duper- takut untuk sendirian. Saya tidak pernah berani melangkah tanpa seseorang membantu menuntunkan saya arah. Sendirian menurut saya adalah kata lain dari kesepian. ---tanpa kawan. ---tanpa dukungan.

Lonely

Kesetujuan saya penuh, terhadap definisi nyata perbedaan gramatikal antara Alone dan Lonely. Kesepian adalah efek buruk terlalu banyak sendirian. Sedih rasanya jika sahabat dan orang yang saya cintai menghubungi saya hanya untuk meminta saya menemani mereka yang membuat saya tak berkutik hanya bisa mewujudkannya lewat perantara doa dan udara.

Hancur karena apa yang saya lakukan selama ini hanya bisa sekadar menyemangati mereka untuk menumbuhkan selfsupporting dalam diri masing masing. Bahkan kadang malah terbawa tangis. Terlalu besar keinginan diri ini membuktikan pada mereka bahwa merekapun tidak sendirian kesepian. Saya juga merindukan mereka yang sedang dalam masa rantau untuk cepat segera pulang dengan sangat. Pulang ketempat paling nyaman yang selalu saya artikan sebagai wujud nyata sebuah “rumah”. Tempat tinggal untuk hati saya nyaman melepas lelah. Peristirahatan terbaik untuk pikiran saya nikmat melepas jengah.

Kini saya benar benar mulai bingung menyemangati orang lain untuk terdoktrin membuat “rumah-rumah” baru di hati dan pikiran mereka masing masing. Sungguh, saya selalu siap bersedia menyediakan banyak bata jika mereka mau saya menyiapkan rumah kecil untuk mereka. Mungkin tidak akan senyaman rumah idaman. Tapi untuk perjalanan jauh, saya menjanjikan tempat peristirahatan yang cukup lumayan. ---Kini dapat dibayangkan betapa murahnya saya menjual diri dan menjajakan “rumah” untuk mereka bukan…?

Duh Gusti… Saya ingin belajar bagaimana caranya mengevolusikan diri saya menjadikan tubuh ini layak disebut sebagai pondasi. Pantas disebut melindungi. Dan nyaman untuk dihuni.

Oooh… Home sweet home. Untuk sahabat dan orang yang selalu saya cintai sepenuh hati. Baik baiklah kalian dirantau menjaga diri. One of the many reasons why I love you is that you DO have such strong pulls to so many places, and that you never forget who you are from having lived the life you've lived. I know it's been hard sometimes living there, --I know…, but you've always persevered and become a stronger person because of it. Prove it, dear…! Lofyufull… ---like always. Buatlah saya bangga, karenanya…!

[Qt.]

About This Kriminal

saya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau mendoktrin siapapun karena saya tidak hobi berperilaku untuk membentuk sebuah kepercayaan baru. saya adalah seorang pembelajar. superhuman. sama sama mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia dianugerahi nalar, akal, dan pikiran yang tidak hanya sekedar untuk dijadikan pajangan.

::..

jika saya salah, mohon untuk diingatkan. saya akan mencoba untuk bisa menemukan pemikiran yang sejalan.

::..

banyak banyak terima kasih saya sampaikan untuk anda yang sempat membaca. berani mencela. atau sekedar tertawa. dan saya tutup narasi ini dengan ajakan untuk kita sama sama memberikan banyak warna pada dunia.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP