Thursday, March 22, 2007

WANITA BERJAKUN

Suatu malam yang panas –Jakarta memang mahir membuat orang berkeringat meskipun ruangan sudah dipasang AC- di kos seorang kawan (tanpa AC) -pantas jika panas- saya dipaksa berkeringat menunggu kawan saya itu sedang melakukan perawatan wajah dengan alat kosmetik –lengkap- hanya karena ingin keluar makan malam di warung yang bukan remang remang. “Lama amat seh...? Bukannya kita cuma ke nasi gorang deket sini...!”, saya menggerutu karena hampir setengah jam saya menunggu. Kawan saya hanya bilang “Bentar lah... kita kan gak bakal tahu hari ini bakal ketemu sapa! Jadi musti jaga penampilan lah...!”. Busyet tuh orang, saya langsung lihat diri sendiri dengan perasaan minder. Harus saya akui kawan saya ini memang punya wajah di atas rata rata walaupun tanpa perlu melakukan perawatan wajah yang dibanggakannya itu. Dan saya sudah cukup sabar untuk tidak iri dan hampir membunuh dia ketika dia bilang, “Nah, sekarang bagian rambut...!”. Aarrggghhh....!



Metroseksual yang Homoseksual


Baru baru ini saya sedang akrab dengan istilah metroseksual yang menandakan saya sudah begitu jauh tertinggal jaman. Kalau kita runut lagi sejarah, sebenarnya ini hanya perbedaan istilah saja. Dari sejak jaman dinosauruspun –sayang dinosaurus tidak pernah meninggalkan fosil berupa alat alat kosmetik- sudah banyak kaum pria yang gemar bersolek (baca: sekedar ngaca dsb. –walau sayang dinosauruspun tidak pernah meninggalkan fosil kaca-), memakai wewangian, dan merawat tubuh yang secara mengakar kita anggap hanya sebagai kerjaan perempuan saja.


Merawat tubuh dan ingin terlihat baik di hadapan orang lain itu adalah fitrah manusia. Ya sah sah saja dong kalau mereka juga punya cara sendiri untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Istilah metroseksual menurut saya terlalu ekstrim dan sesungguhnya hanya suatu bentuk kedengkian para anti kemapanan terhadap mode dan kebiasaan memanjakan diri warisan budaya aristokrat. Seperti kota London yang telah melahirkan aliran punk sebagai bentuk nyata protes anti metroseksual –pada saat itu belum ada istilah ini untuk pria pria yang gemar merawat diri- karena dianggap memalukan kodrat sebagai laki laki dan dianggap terlalu narsis. Padahal menurut saya narsis itu muncul dari perasaan bangga pada diri sendiri secara berlebihan. Emangnya anak punk gak bangga dengan gaya yang ada didiri mereka. Jadi ya sama sama narsisnya dong.


Rekan saya yang seorang metroseksual dan kebetulan juga homoseksual pernah bilang ke saya, “Saya itu kok ndak percaya ya dengan istilah metroseksual, kalau enggak memang orangnya homoseksual, ya nggak mungkinlah”. Saya yang pikirannya dangkal nggak ada isinya dan sok menggurui cuma bisa bilang, ”Masak sih mas? Bukannya itu emang udah fitrah... bla... bla... bla...”. Padahal dalam hati saya juga berharap yang dikatakan rekan saya itu memang benar. Tapi kalau melihat fakta bahwa pria tulen aja bisa jadi seorang homoseksual, apalagi seorang metroseksual. Tapi nggak mungkin juga kan tiba tiba jalan dan ketemu seorang metroseksual tiba tiba bilang, “Eh... Homo ya...?”. –bag... big... bug...-



Tong Sampah yang Bermartabat


Memang kita harus bijak memandang para pria metroseksual. Karena menurut saya, semua pria di dunia ini adalah metroseksual. Mana ada orang yang mau kelihatan buluk dihadapan orang lain. Itu pasti karena terpaksa saja.


Jadi nampaknya kita harus membuang anggapan bahwa indah dan berpenampilan menarik itu hanya milik kaum [perempuan saja. Sedangkan para prianya cuma boleh jadi tong sampah yang terlihat kotor. Berlagak tegar, kuat, harus terlihat lusuh, belepotan oli, dan hobi lihat wanita telanjang. Padahal metroseksual bukanlah paham baru yang harus kita tenggelamkan karena dianggap terlalu liberal untuk kaum pria. Merawat tubuh adalah fitrah manusia. Saya saja kalau ada uang dan kesampatan ya mau mau saja kalau disuruh merawat tubuh.


Tapi tidak dengan alih alih demi menjaga penampilan tiba tiba jadi seorang metroseksual yang ekstrim. Terobsesi memakai produk ini produk itu. Yang wajar sajalah jika ingin merawat tubuh dan penampilan. Kalau sampai harus pakai lipstik segala untuk menjaga penampilannya, waaah itu mah emang wanita yang kebetulan aja punya jakun.


[Qt.]

PABRIK FIGUR


Hidup itu memaksa kita untuk berkomunikasi dengan orang hidup yang lain, bergaul, dan bermasyarakat. Saya selalu setuju dengan pernyataan seperti itu karena sifat naluriah manusia adalah membentuk komunitas yang membuatnya nyaman dan dihargai –meskipun ada juga komunitas yang bisa memaksa kita jadi ingin bunuh diri-. Dan saya selalu kagum dengan para politikus-politikus handal yang duduk dikursi-kursi panas di atas sana. Maksud saya bukan kursi yang dijemur di atas genteng sampai panas lalu diduduki –mungkin saya bisa jadi bakal jauh lebih kagum pada orang yang mau melakukan hal ini-, tapi orang-orang yang rela membentuk komunitas dalam tanggungan amanah dan moral-moral dalam bentuk partai politik.


Saya sendiri tidak punya bakat apapun dalam berpolitik, -menulis hal-hal berbau politikpun sebenarnya saya agak-agak maksa- tapi selalu berpikiran bahwa saya sebenarnya tidak ada bedanya dengan mereka. Saya cuma butuh keberanian untuk memasang nama saya dan rela dicoblos –potho di kertas pemilihannya, bukan nyoblos yang lain- lalu bingung mo ngapain ketika sudah terpilih dan duduk mengemban amanah rakyat sambil berpikir bagaimana partai yang saya tunggangi ini bisa terus meroket namanya. Mungkin saya cuma bisa nggosip, tidur, pulang, lalu minta duit rapelan tunjangan karena saya memang tidak punya modal apa-apa untuk berpolitik di sana selain nama –bisa diperdebatkan-. Makanya, saya selalu heran dengan sebagian orang “di sana” yang tingkah laku nyatanya kok persis sama dengan saya. Kalo gitu doang si, saran saya mending kita buat komunitas sendiri yang meskipun gak akan memiliki gaji yang mengaharuskan kita punya dompet lebih dari lima tapi setidaknya tetap membuat kita tenang ketika video mesum kita beredar di masyarakat luas. Setidaknya bisa membuat nama kita semakin meroket. Meroket jauh lebih buruk maksudnya.



Kumpulan Pabrikan Orbitan


Satu lagi sifat naluriah manusia yang saya kagumi adalah hasrat berpendapat. Konsekuensi adanya perbedaan pendapat inilah yang akhirnya memunculkan partai-partai politik yang jualan “persamaan pendapat”. Logisnya negara ini tak mungkin dipimpin oleh jutaan orang yang punya pendapat beda. Kita sudah sepakat memilih bentuk bahwa pemimpin negara ini memang harus dipilih dimana partai politik adalah satu-satunya jalan untuk menempatkan seseorang di sana. Ibarat konsumen pabrikan, kita diberi banyak pilihan jualan. Mau suka ma pabrik yang jualan ini, ya monggo, atau kalo lebih seneng ma pabrik yang nawarin itu, ya silakan.


Bagi saya pribadi, mau pilih partai yang ini atau yang itu kok sama saja ya. Konsumen seperti saya yang mungkin juga bernasib sama dengan banyak orang lainnya sangat gampang dipengaruhi dengan bentuk pabrik yang lebih menarik. Jika menawarkan banyak hadiah dan dikemas lewat sales yang berpromosi dengan kata-kata yang menarik –selain wajah juga mendukung- sudah pasti saya bakal jadi pelanggan pabrik itu. Saran saya sih buat pabrik-pabrik yang masih baru berdiri, jika niat Anda memang untuk menang dan tidak cuma pengen mejeng dan menyemarakkan bazar pemilihan pabrik favorit, jual figur yang Anda punya. Pilih figur paling keren dan seterkenal mungkin yang masih punya catatan kebajikan luar biasa dan “menjual”. Orbitkan.


Saya memang cukup bodoh untuk selalu percaya dengan janji-janji sales pabrik yang kebenaran produknya sangat cukup bisa untuk dipertanyakan. Tapi percayalah, masih banyak orang-orang bodoh di negara ini yang masih punya pemikiran primitif seperti saya dan gampang dipengaruhi kata-kata manis meskipun Anda mungkin memang benar-benar ingin memuaskan pelanggan atau hanya sekedar ingin memuaskan diri Anda sendiri. Wallahu a’lam.



Kongsi yang Berevolusi


Fakta bahwa reformasi telah melahirkan tatanan baru dalam berpolitik dengan membentuk sugesti mutlak bahwa hanya parpol (partai politik) yang menjadi satu-satunya jalan masuk menjadi penyelenggara negara di eksekutif ataupun legislatif memang sungguh membuat saya miris. Saya sendiripun tidak pernah bermimpi akan memiliki presiden dari pesinden yang memenangkan reality show “Who Wants To Be A President”. Tapi jika dia jauh lebih bermoral dan ikhlas mengayomi negara ini sih kenapa tidak? Sayangnya negara ini sudah punya sistem pemilihan yang sudah selayaknya kita hormati. Munculnya 39 nama partai politik yang natinya akan berjuang di medan bisnis dalam Pemilu 2009 wajar-wajar saja.


Saya sangat dan tetap menghormati orang-orang yang berani menyibukkan diri dengan membawa aspirasi rakyat dan berjanji memperjuangkannya. Salut. Daripada saya yang seumur hidup ini bisanya hanya mencibir dan berbusuk sangka terhadap elit-elit politik tersebut, lalu tersenyum culas ketika salah satu dari mereka terlibat skandal besar atau hanya terlibat kasus pencurian sandal.


Mungkin saya terlalu naif untuk tidak percaya partai-partai tersebut ikhlas memper-juangkan apa yang telah dikoar-koarkan dan berjanji bisa lebih besar diperjuangkannya daripada tumpukan kepentingan-kepentingan pribadi diatasnya. Tapi sayangnya sifat naluriah manusia saya yang lain memaksa saya untuk tetap berekspektasi. Saya bersyukur masih dianugerahi naluri untuk selalu mempunyai harapan. Harapan bahwa elit politik yang membentuk komunitas keren ini tidak hanya sekedar menjual janji-janji –lagi- dan berubah bentuk menjadi kongsi.


[Qt.]

Saturday, March 3, 2007

MENANTANG KEMATIAN

Belakangan ini saya jadi sering berpikir –padahal saya jarang berpikir- tentang artinya hidup. Karena belakangan ini saya sudah sering “mati” [benar benar mati dan bingung mau hidup] alias kehilangan semangat hidup dan entah mau dibawa kemana hidup ini. Kalau mau dirunut ternyata saya kehilangan target hidup yang ingin dicapai. Entah apa yang membuat saya tidak mau memiliki target hidup atau takut membuat banyak aturan tentang hidup saya, takut menghadapi kegagalan dari banyaknya target dalam hidup atau memang saya takut hidup.

Kemudian sahabat saya menelepon sambil menangis bahwa dia sedang teringat ibunya yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Saat itu saya bingung, lha meninggalnya aja 3 tahun lalu, kok nangisnya baru sekarang? Karena yang saya tahu sahabat saya adalah orang yang tegar dan tidak selemah ini. Karena saat kematian ibunya, sayalah yang menangis dan dialah yang memeluk dan bilang pada saya bahwa hanya satu di dunia ini yang pasti, mati, dan jangan pernah menangisi mati. Entah dia bilang begitu karena saat itu di otak saya hanya terpikir tiga kata saja: Saya takut mati! Atau karena dia berusaha menegarkan diri. Karena setahu saya hanya satu di dunia ini yang pasti, bahwa gak semua cowok suka cewek. Lalu saya habiskan beberapa menit itu dengan diam dan membiarkan dia menangis hingga bilang, “i’m okey, thanks kit”. Dan belum sempat saya menjawab, penyakit lama saya kambuh lagi: Migrain, karena otak saya tiba tiba kembali hanya terpikir tiga kata saja: Mati, Mati, dan Mati.

Secara egois saya selalu berpikir bahwa saya harus mati lebih dulu dari sahabat-sahabat saya dan pastinya dari keluarga saya. Saya ingin lebih banyak yang menangis ketika saya pergi. Namun saya sadar bahwa itu hanya alasan sebuah ketakutan saya akan sebuah kehilangan. Saya miris dan selalu hampir menangis ketika saya harus membayangkan saya harus kehilangan orang yang saya cintai. Ngilu membayangkan bagaimana saya harus berupaya tegar ketika orang yang paling saya cintai di dunia ini, ayah saya, suatu hari harus diambil pergi. Harta saya. Dan alasan terkuat untuk membuat saya tetap tidak operasi jakun karena saya yakin betapa akan hancur hatinya nanti. Ingin rasanya cinta yang terlalu besar ini terbagi-bagi agar nanti saya punya alasan kuat untuk tetap tegar berdiri.

Saya, Hidup, dan Takdir Hidup Saya

Hidup mengajari saya untuk menghormatinya. Saya menghormati hidup karena hidup menghormati saya dengan memanfaatkannya. Jadi untuk sementara ini saya sedang ingin memaknai hidup lebih baik lagi. Betapa tingkah laku saya yang menyebalkan dan serabutan ini masih perlu banyak perbaikan. Betapa masih banyak dendam yang saya pendam dan kubur dalam-dalam untuk diikhlaskan. Dan betapa saya masih punya banyak orang yang mungkin tak akan pernah suka pada perilaku setan yang saya lakukan.

Saya teringat akan film terakhir yang saya tonton bersama teman-teman saya. Death Note. Film korea yang aneh tapi membuat saya belajar lebih banyak mengenai kematian dan penghargaan terhadap hidup. Alkisah seorang pemuda bernama Light menemukan sebuah catatan milik Shinigami yang diceritakan sebagai sosok malaikat kematian. Rupanya catatan tersebut dapat membuat orang mati ketika kita membayangkan wajah dan menulis nama orang dalam catatan yang disebut “death note” tersebut. Konflik moral terjadi ketika Light yang awalnya berniat baik dengan berpikir membunuh para penjahat-penjahat keji menjadi mesin pembunuh orang-orang yang tidak ia sukai dan dianggap dapat menghalangi tujuan utamanya menjadi seorang penegak hukum. Bahkan dia rela menuliskan skenario kematian kekasihnya sendiri dalam death note menjadi drama pembunuhan tragis yang akhirnya membuatnya selangkah lebih dekat dengan ambisi pribadinya yang egois.

Pada awalnya saya mengutuk habis-habisan kelakuan Light, namun akhirnya saya lebih mengutuk Shinigami yang menurut saya adalah biang keladi yang hanya memanfaatkan Light untuk menuliskan nama-nama pada buku kematiannya. Dalam ceritanya, Shinigami memiliki kemampuan melihat umur manusia dan waktu kematiannya –seperti video klip Saving Me dari Nickelback-. Nah... jika Shinigami tahu waktu kematian para korbannya, sebenarnya Light bukanlah pembunuh, tapi hanya menjalankan takdir bahwa orang yang yang dibunuhnya memang harus mati karena takdirnya ditulis dalam buku tersebut. Menarik. Seperti pada cerita Doraemon –film favorit sepajang jaman-, takdir tidak dapat diubah, karena ketika mereka mencoba mengubahnya lewat mesin waktu, malah merekalah yang terjebak untuk ikut membuat sejarah tersebut terjadi karena adanya usaha untuk mengubah takdir.

Rumit. Tapi pada hikmah yang dapat saya simpulkan dari otak minimalis ini adalah jangan pernah sekali-kali berharap dapat “death note”. Tidak ada manusia yang tidak dicintai orang lain. Coba bayangkan orang orang yang mungkin akan kehilangan orang yang dicintai hanya karena kita menakdirkan seseorang untuk mati karena ditulis dalam catatan kematian tersebut. Belum lagi kalau sampai salah orang. Perdamaian itu tidak hanya terwujud karena penjahatnya pada mati. See..! Saya bayangkan jika orang yang terpilih mendapatkan death note adalah saya. Mungkin saya tidak cuma butuh satu death note, karena akan begitu banyak nama-nama orang yang pastinya akan saya tulis di sana. Perilaku setan saya yang iri dan gampang dengki ini sudah dipastikan akan memberikan sumbangsih besar bagi negara ini karena berhasil menurunkan kepadatan penduduknya. Misalnya, saya nggak suka situ karena situ lebih kaya dari saya, cateeeettt. Terus saya juga nggak suka sama sono karena sono lebih imut dari saya, catet juga yuuukkk...! Dan itu bisa dipastikan tidak akan berhenti hingga cuma saya yang hidup di dunia ini. Kalau sampai Shinigami begitu kurang ajarnya mengamanahkan buku itu pada saya. Saya bulatkan untuk menolak mentah mentah buku tersebut. Karena bukannya tidak sanggup, saya tidak mau.

Lain halnya jika saya kejatuhan rejeki dengan diberi mukjizat sebuah catatan yang bisa membuat orang yang saya tulis namanya dicatatan tersebut jadi homo. Huaaaa...saya dipastikan rela musti harus menangis darah dan mengemis-ngemis pada iblis untuk mendapatkannya. See..! Karena saya yakin akan satu hal bahwa membuat orang menjadi homo adalah busuk, tapi membunuh orang hanya karena kita merasa bahwa kitalah yang berhak memutuskan bahwa dia harus mati hingga mematikan kesempatannya untuk bertobat dan menyesali dosa-dosanya, itu jauh lebih busuk.

Hidup Abadi Ala Mak Lampir

Ada kalanya kita harus bersyukur karena dipastikan mati. Dalam hati kecil saya, saya memang belum siap untuk mati. Saya belum punya banyak bekal untuk tujuan akhir dunia ini. Dan saya masih belum belajar bagaimana hidup yang baik itu harus saya penuhi. Banyak hal yang membuat saya musti harus legowo jika tiba saatnya hidup merasa saya sudah cukup untuk memanfaatkannya. Jika suatu hari nanti iblis menawarkan jatah hidup yang abadi seperti Mak Lampir pada saya, saya akan menolak mentah mentah tawaran tersebut. Karena bukannya tidak mau, saya tidak sanggup.

Merinding membayangkan sebuah kematian. Karena setelahnya pilihannya cuma ada dua. Surga dan Neraka. Hidup itu amanah. Anugerah paling indah dimana kita diberi kesempatan merasakan kasih sayang, cinta, dan berbagai hal-hal luar biasa. Tapi terlalu egois jika kita hanya diberi kesenangan bukan. Mati adalah kontrol yang tepat untuk kita merasakan hal-hal indah menjadi lebih bermakna. Bahwa penderitaan hanya bersifat sementara. Maka buatlah hidup ini berharga.

Jangan pernah terlalu mencintai hidup hingga berharap menjadi abadi. Itu sama saja berharap memperpanjang catatan-catatan dosa yang akan kita lakukan nanti. Hidup dengan masa yang terbatas memaksa kita memanajemen hidup untuk menjadi orang berkualitas. Saya teringat dengan kata-kata bijak yang diucapkan oleh adik saya, “Jika takut mati ya... jangan hidup mas, tapi kalo takut hidup ya... mati saja!”.

[Qt.]

PELAJARAN MENCURI


Saya jengkel bukan main ketika beberapa waktu yang lalu “kata-kata” saya diakuisisi secara perlahan oleh kawan saya. Pada dasarnya saya menyimpan kedongkolan luar biasa mendalam hingga ingin memutilasi kawan saya itu, hanya saja saya disadarkan perbuatan saya yang juga sama busuknya jika sedang mengutip kata-kata orang lain dan perlahan melekat dalam keseharian. Jadi akhirnya saya ikhlaskan saja. Toh itu sudah sering dan bukan untuk pertama kali terjadi. Baik pencurian kata yang dilakukan kawan saya itu maupun perbuatan plagiat saya yang sama nistanya. Sabar.


Memang butuh kelapangan dada luar biasa –meski tidak harus sebesar lapangan bola- ketika harus mengikhlaskan sesuatu diambil dari kita. Indonesia saja yang moralnya sudah lama dicuri dan dicangkok dengan moral-moral baru yang lebih busuk tetap adem ayem dan tidak merasa harus protes karena kehilangan jati dirinya, apalagi kalau dicuri kekayaannya. Ini bukan sabar namanya. Wong saya ini sampai heran, sebenarnya siapa yang bodoh dan gak sadar-sadar kalau kita ini masih dijajah dan moral kita dicuri dan dicuci mati-matian. Saya? Atau mereka yang sekarang jadi mayoritas orang yang bangga dengan ikut-ikutan? Tapi karena suara terbanyak itu selalu benar di negeri ini, makanya saya sadar diri kalau sebenarnya otak saya yang lemot ini yang perlu dibasmi.



Mencuri Ilmu Mencuri Untuk Mencuri Ilmu


Saya selalu kagum dengan para guru yang selalu rela mengajarkan ilmunya pada murid-muridnya. Karena menurut saya, ilmu itu harusnya untuk dibagi, bukan dicuri. Walau saya selalu bingung membedakan mana ilmu curian dan mana ilmu yang benar-benar diturunkan.


Sahabat saya pernah bilang, “Ide itu nggak harus datang dari diri sendiri, bisa dari banyak sumber! Aku itu sering lho nyuri ide orang karena kupikir mubazir banget ide bagus tapi harus mati cuma karena dianya gak berani nyampein ke muka umum. Lagian, toh aku juga yang bakal dianggap keren!”. Sejauh yang dapat saya tangkap dengan otak minimalis yang saya miliki adalah meski niatnya baik untuk menghindari ‘kemubaziran ide’ –maksa-, tapi apa bagusnya mencuri ide orang. Bahkan sahabat saya itu menambahkan lagi, “Mencuri ide itu ada ilmunya tersendiri, ada seninya! Kita perlu tambah pernak-pernik disana-sini untuk beberapa penyesuaian biar ide itu jadi ‘gue banget’! Jadi kita gak sepenuhnya nyuri! Kan kita juga ikut nyempurnain idenya!”. Dan saya hanya bisa menanggapi dengan kata, “Hah?”, sembari membuat kesimpulan bahwa saya harus bangga memiliki sahabat yang ternyata masih keturunan suku Barbar.


Terlepas dari keinginan saya untuk belajar “ilmu mencuri” sahabat saya itu dengan mencurinya secara perlahan –karena saya tidak mungkin menjatuhkan harga diri saya untuk mengemis belajar padanya setelah dia habis-habisan saya hina kerena “pencuriannya”-, mata saya kian terbuka lebar –walau mata saya sebenarnya sudah lebar- bahwa Mencuri itu jelas salah. Tapi kalau yang dicuri saja gak merasa kalau dia kehilangan sesuatu yang harusnya dia jaga, yasud, salah siapa? Pencurinya atau yang punya?



Belajar Berjaga


Sebagai seorang muslim, saya marah dan memaki-maki orang-orang yang dengan tega mencuri ilmu kami dan mengadaptasinya nyata-nyata lalu mendoktrin kepada seluruh dunia bahwa itu ilmu pemikiran mereka. Meski spiritual agama saya patut dipertanyakan kelayakannya, tapi saya mengutuk habis-habisan kepada para pencuri ilmu itu.


Ilmu kedokteran, syariah, dan filsafat islam misalnya, siapa sekarang yang masih mengakui kehebatannya jika doktrin yang ada adalah bahwa ilmu itu adalah milik barat yang notabene telah mencurinya.


Selama ini saya terlalu sering menyalahkan para pencuri. Pencuri ide, pencuri moral, pencuri ilmu, dan yang pasti pencuri barang-barang berharga –saya sampai heran ketika melihat sebuah reportase tertutup tentang “Sekolah Mencuri” yang ada dan didirikan untuk menelurkan generasi-generasi pencuri yang profesional-. Saya terlalu naif untuk tidak mawas diri dan menganggap semua orang di dunia ini baik hati. Saya tidak pernah sadar untuk menjaga sesuatu sebelum saya kehilangan sesuatu itu sendiri. Dan saya tidak pernah belajar dari pengalaman para pendahulu saya untuk menjaga apa itu sesuatu yang berharga.


Saya terlalu angkuh dan sibuk menyalahkan sana-sini sehingga menutup mata mengapa ilmu itu bisa dicuri. Saya terlalu munafik menganggap kesalahan pencurian ini seutuhnya bukan karena kami. Kami lupa untuk menjaga apa yang seharusnya menjadi harta kita. Sudah seharusnya kita semua sadar untuk mulai melindungi apa yang kita miliki. Kalau memang caranya harus dengan mencuri, mengapa kita juga tidak memakai ilmu yang sama dalam mendoktrin mereka. Curi moral mereka dengan doktrin-doktrin yang lebih bermartabat dari yang mereka punya.


[Qt.]

SETABAH TONG SAMPAH



Bulan ini saya benar benar letih dan sakit. Letih pikiran dan sakit hati yang bertubi tubi. Saya sudah usahakan untuk tetap tak memperlihatkan kejengkelan saya yang sudah siap meledak lagi. Karena saya tahu itu semua tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan membuat saya makin sakit hati. Saya baru kehilangan kawan saya yang hampir saya sebut sebagai sahabat. Lagi.


Begitu tega mantan kawan saya itu menusuk saya dari belakang –walau saya sebenarnya suka ditusuk untuk urusan yang lain- setelah saya selalu ada untuk mendengar apa yang dia sebut curhat dan amarah lalu meninggalkan saya yang hanya jadi mirip tong sampah. Saya memang pendengar yang baik, tapi “hallooo...?” saya juga butuh dihargai. Bukan untuk dikhianati. Lagi. Dan bodohnya. Butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa saya ini cuma jadi tong sampahnya.


Berikutnya saya hampir berniat mencari alamat toko nuklir terdekat di halaman yellow pages berharap bisa membeli beberapa granat aktif untuk membalas dendam. Tapi kalau dipikir pikir yasud, mungkin ini cuma hukum timbal balik saja –yang oleh orang budha disebut hukum karma- bahwa saya dulu secara tidak sadar juga pernah melakukan hal serupa kepada orang yang hampir mengganggap saya adalah sahabatnya. Atau hanya nasib sial saja bertemu orang model begini. Jadi akhirnya saya hanya memutuskan untuk mencari alamat toko alat alat berat saja. Mungkin efeknya hanya sampai membuat koma dan tidak sampai menyebabkan kematian. Lho..?



Saya dan Tong Sampah


Tiba tiba saya sadar bahwa ternyata dalam hidup saya selama ini saya sudah expert di bidang persampahan. Berkali kali saya dapat peran ini dan saya begitu menikmati. Jadi tong sampah sebenarnya nyaman juga. Walau sering dianggap kotor, tak bernilai dan hanya bergaul dengan kecoa dan tikus tikus jakarta –busyet... gede banget –sumpah—tapi menurut saya fungsinya jauh mulia. Coba kalo nggak ada tong sampah. Apa mau akibatnya kayak gunung sampah di Bandung. Berceceran tak karuan dan baunya sudah pasti busuknya –saya sendiri belum pernah membaui sampah di Bandung dan tidak ada niat untuk melakukannya-.


Menjadi tong sampah membuat saya belajar untuk tetap bersih. Bersih badan dan juga pikiran. Lewat “sampah” orang lain saya mulai belajar untuk mendaur ulang “sampah” mereka meski beberapa kali pikiran jahat saya bilang “Buka! Buka! Buka!” –maksud saya buka sampahnya biar terlihat dan tercium yang lain, bukan buka buka yang lain-. Saya juga punya hati nurani kok. Kalau main buka begitu mah... Apa bedanya saya dengan sampah mereka. Sama sama busuknya dong.



Tong Sampah Bilang: Lo Mau Jadi Gue...? Ambil!


Mungkin tong sampah memang bisa tabah. Lha mereka kan tidak punya hak menolak jadi penyimpan sampah. Coba kalau bisa bicara, –kebayang kalau mulutnya pasti bau naga- mereka pasti protes juga dan pilih pilih mana yang boleh dibuang ditempatnya. Sapa sih yang cuma mau menampung sampah orang lain saja. mengurusi “sampah” sendiri saja sudah bingung, apalagi mengurusi “sampah” orang lain.


Belajar sabar itu sulit, apalagi belajar untuk mengerti orang lain. Tong Sampah sungguh beruntung tidak diamanahi nurani oleh Sang Khalik. Belajar tabah untuk menjalankan fungsinya bergumul dengan sampah. Belajar ikhlas hanya dipandang sebelah mata. Belajar bijaksana bahwa tak banyak orang lain yang memahami fungsinya. Namun dibalik kotornya, si tong sampah mampu membuat bersih sekelilingnya.


[Qt.]

About This Kriminal

saya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau mendoktrin siapapun karena saya tidak hobi berperilaku untuk membentuk sebuah kepercayaan baru. saya adalah seorang pembelajar. superhuman. sama sama mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia dianugerahi nalar, akal, dan pikiran yang tidak hanya sekedar untuk dijadikan pajangan.

::..

jika saya salah, mohon untuk diingatkan. saya akan mencoba untuk bisa menemukan pemikiran yang sejalan.

::..

banyak banyak terima kasih saya sampaikan untuk anda yang sempat membaca. berani mencela. atau sekedar tertawa. dan saya tutup narasi ini dengan ajakan untuk kita sama sama memberikan banyak warna pada dunia.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP