Friday, November 20, 2009

A-LONE-LY

Homesick…? Dulu, kecerdasan saya mengartikannya sebagai: Rumah Sakit. –sigh. Sekarangpun saya belum mengerti bagaimana proses orang menyebutnya sebagai penyakit-merindukan-rumah.

Pernahkah saya…? ---Mungkin. Awalnya saya selalu mengira bahwa yang dimaksud dengan homesick adalah bahwa kita benar-benar merindukan rumah yang telah menyaksikan tumbuh kembang kita selama ini dari wujud bayi sampai menjadi seorang manusia. Namun tempo lalu, partner hati saya sedang meracau bahwa dia benar-benar homesick. ---beberapa bulan lalu dia baru dipindah tugaskan ke luar kota Jakarta. Lalu saya dengan sok bijaknya menyarankan untuk dia mengambil cuti beberapa hari agar bisa pulang ke kampungnya secepatnya---yang setahu saya berada di daerah Jawa Timur sana.

Dia diam, lalu dengan kacau mengatakan bahwa dia tidak ingin pulang ke rumahnya di Jawa. Dia sedang merindukan kawan kawan nya dikota ini rupanya –Jakarta. ---yang dalam hati, saya ingin protes bahwa Jakarta kan masih masuk dalam Pulau Jawa, tapi saya diam mendengarkan daripada saya dilempar kemenyan. Pun saya bingung saat itu untuk mendefinisikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “rumah” itu. Wujud batu-bata tertata yang ditinggali ketika dulu masih muda? Manusia yang didefinisikan sebagai orang-tua? Atau sekumpulan makhluk hidup yang kita anggap sebagai keluarga?

Alone

Sejatinya saya sangat senang jika sedang menemani partner saya tersesat ketika menjalankan hobinya mengabadikan sebuah gambar dalam kamera ---dulunya. Hedon bersama sahabat sahabat tercinta. Namun terkadang, saya jauh lebih suka untuk mengasingkan diri dari peradaban. Sometimes, I like being alone. Sejak saya berhubungan jarak jauh dan sempat kehilangan seorang sahabat terbaik saya dari muka bumi ini, saya lebih senang berjalan jalan sendiri. Menikmati keramaian dalam sepi. Duduk duduk tidak jelas di sudut Monas sambil mengamati perilaku ajaib penduduk ibukota ketika menikmati hari liburnya.

Ketika saya sedang sendirian, naluri saya benar benar kuat untuk meraba apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup ini. Memikirkan jalan untuk meraih mimpi mimpi yang ingin saya visualisasikan dari wujud maya selama ini. Dan menyemangati diri untuk selalu berupaya mencapai muqadis yang hakiki.

Sungguh ironi, karena dulu saya sangat –super-duper- takut untuk sendirian. Saya tidak pernah berani melangkah tanpa seseorang membantu menuntunkan saya arah. Sendirian menurut saya adalah kata lain dari kesepian. ---tanpa kawan. ---tanpa dukungan.

Lonely

Kesetujuan saya penuh, terhadap definisi nyata perbedaan gramatikal antara Alone dan Lonely. Kesepian adalah efek buruk terlalu banyak sendirian. Sedih rasanya jika sahabat dan orang yang saya cintai menghubungi saya hanya untuk meminta saya menemani mereka yang membuat saya tak berkutik hanya bisa mewujudkannya lewat perantara doa dan udara.

Hancur karena apa yang saya lakukan selama ini hanya bisa sekadar menyemangati mereka untuk menumbuhkan selfsupporting dalam diri masing masing. Bahkan kadang malah terbawa tangis. Terlalu besar keinginan diri ini membuktikan pada mereka bahwa merekapun tidak sendirian kesepian. Saya juga merindukan mereka yang sedang dalam masa rantau untuk cepat segera pulang dengan sangat. Pulang ketempat paling nyaman yang selalu saya artikan sebagai wujud nyata sebuah “rumah”. Tempat tinggal untuk hati saya nyaman melepas lelah. Peristirahatan terbaik untuk pikiran saya nikmat melepas jengah.

Kini saya benar benar mulai bingung menyemangati orang lain untuk terdoktrin membuat “rumah-rumah” baru di hati dan pikiran mereka masing masing. Sungguh, saya selalu siap bersedia menyediakan banyak bata jika mereka mau saya menyiapkan rumah kecil untuk mereka. Mungkin tidak akan senyaman rumah idaman. Tapi untuk perjalanan jauh, saya menjanjikan tempat peristirahatan yang cukup lumayan. ---Kini dapat dibayangkan betapa murahnya saya menjual diri dan menjajakan “rumah” untuk mereka bukan…?

Duh Gusti… Saya ingin belajar bagaimana caranya mengevolusikan diri saya menjadikan tubuh ini layak disebut sebagai pondasi. Pantas disebut melindungi. Dan nyaman untuk dihuni.

Oooh… Home sweet home. Untuk sahabat dan orang yang selalu saya cintai sepenuh hati. Baik baiklah kalian dirantau menjaga diri. One of the many reasons why I love you is that you DO have such strong pulls to so many places, and that you never forget who you are from having lived the life you've lived. I know it's been hard sometimes living there, --I know…, but you've always persevered and become a stronger person because of it. Prove it, dear…! Lofyufull… ---like always. Buatlah saya bangga, karenanya…!

[Qt.]

Monday, October 5, 2009

SADAR KADAR SABAR

Untuk pertama kali saya mendengar berita ada gempa di Padang kemarin via radio sebelum berangkat kerja, -jujur- komentar saya pertama kali adalah: “berlebihan sekali orang orang ini memberitakannya..?? mentang mentang sekarang lagi musim bencana… gempa sedikit saja langsung heboh beritanya..!!!”. Lalu saya melengos tertahan ketika mata saya ditampar saat melihat kondisi asli bencana tadi di layar televisi kantor saya.


Ketar ketir saya mencoba menghubungi ibu saya ingin menanyakan apakah ada keluarga kami disana yang menjadi korban gempa. Bingung sesaat –ingin berteriak histeris- tapi saya tahu saya harus tenang karena saya harus perlahan mengumpulkan bekal untuk menyiapkan dukungan. Banyak dukungan.

Saya sedang berpikir mengapa saya harus kaya. Pikiran yang sama ketika keluarga kami di Jogja dulu mengalami musibah yang sama. Pikiran pikiran yang selalu ada jika seseorang yang dekat dengan saya sedang ditimpa musibah yang ujung-ujung-nya selalu melibatkan dana.

Dulu pernah juga suatu saat, seorang sahabat mengabarkan bahwa adiknya harus menjalani operasi tumor di belakang lever dan kandung kemihnya. Dan jika dua hari setelahnya operasi itu tidak segera dilakukan, dikhawatirkan tumor tersebut akan pecah dan akan meracuni darahnya. Saya yang memang tidak pernah mendapatkan pelajaran biologi hanya bisa sok mengerti dan ternganga. Mata saya langsung fokus pada 8 digit rupiah angka yang dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut secepatnya. Puluhan juta. Dan saya hanya bisa berusaha bertahan untuk tidak pingsan dan tiba tiba melompat dari lantai dua kosan saya.

Saya mengenal sahabat saya ini cukup lama. Dan saya tahu bagaimana kondisi keuangan keluarganya. Apalagi ketika saya menelepon, dia bilang malam itu juga dana yang terkumpul harus sudah ada minimal 75% dari total yang dibutuhkan. Dia bingung, bahkan pasrah saja ketika bilang harus mencari kemana lagi. Dan saya cuma bisa bilang: “Tenang saja…!”, -padahal saya sangat tahu bahwa masalah ini jauh lebih rumit dari menyelesaikan problem soal inter akuntansi dan bahkan jauh lebih abstrus daripada saat kita harus mengisi form penempatan instansi-.

Sadar Kadar

Di bawah payung yang melindungi saya dari air hujan yang tidak berhenti dari siang hari, saya mulai berlari mencari bantuan kesana kemari. Saat itu saya cuma bisa berkhayal bahwa seandainya saya adalah orang yang kaya, betapa mudahnya saya akan bilang ke sahabat saya, “Oooh.. cuma butuh segitu saja…? Iya.. nanti saya transfer sekitar beberapa milyar. Sekalian buat beli pabrik obat agar para dokter itu jauh lebih tenang dan punya banyak waktu untuk belajar”. Andai saya kaya, betapa besar kans saya untuk membuat orang lain bahagia. Betapa akan mudahnya saya membantu orang lain yang terkena musibah dengan meringankan bebannya. Uang memang bukan segalanya. Tapi nyatanya sayang segalanya memang butuh uang.

Saya benar-benar ingin kaya. Sangat kaya. Kadar yang besar dalam bergelimang harta. Hhh... saya putus asa. Sampai sampai saking bingungnya saya lupa harus memberikan dukungan moral pada sahabat saya. Hal yang mungkin diperlukannya saat itu juga. Meski tak nyata, tapi saya merasa bukankah itu juga berharga. Segalanya memang butuh uang. Tapi nyatanya uang memang bukan segalanya.

Saya terlalu sibuk untuk jadi pahlawan kesorean. Harusnya saya sadar terhadap kadar kemampuan saya menolong seseorang. Saat itu saya yakin memiliki kadar dukungan mental untuk bersabar yang jauh lebih besar dari sahabat saya yang mungkin saat itu kadar sabarnya hampir memudar. Andai sabar bisa menular. Saya ingin saat itu juga lari kepadanya untuk mendonorkannya dan bilang segalanya akan baik baik saja.

Kadar Sabar

Saya bersyukur hidup dalam lingkungan yang mengajarkan saya untuk selalu belajar. Belajar menjadi orang yang sabar. Belajar untuk menjadi orang yang tegar. Dan belajar untuk menjadi orang dengan jiwa yang besar. Masih belum sempurna memang, tapi saya memang masih dalam tahap sebagai pembelajar.

Kadang saya takjub dengan kebesaran untuk bersabar yang dimiliki sahabat saya ini yang melebihi porsi yang saya miliki. Ayahnya meninggal karena gagal ginjal, ibunya pernah terkena kanker rahim, dan adiknya yang lain terkena bronkhitis. Kalau saya mungkin takkan pernah bisa berhenti menangis. Tapi saya yakin bahwa sabar tak akan pernah habis terkikis. Sabar adalah bentuk nyata rasa syukur kita yang dapat membuat kita masih dapat mencoba tersenyum manis walaupun saat itu hati kita sedang terasa miris. Karena sabar tidak mengenal kata: Habis.

Saya memang harus kaya. Tapi tak hanya harta. Moral, persahabatan, rasa tenang, dan juga rasa sabar. Tak mengapa jika memang segalanya diberi dalam kadar yang tak seberapa. Jika kita memiliki kemampuan untuk selalu mensyukuri segalanya yang telah diberikan, porsi yang wajar bisa jadi akan terasa sangat besar bukan?

Untuk saudara kami yang sedang mengalami musibah besar di Padang. Saya sudah tidak sanggup berkata kata lagi untuk mengobral seberapa besar dukungan yang saya punya untuk kalian. Dari jauh hanya bisa mengirimkan dukungan doa dan bantuan materi yang tak seberapa. Sadar kadar sabar. Meyakini sepenuh hati bahwa bencana bukan cuma untuk diratapi. Bukan cuma untuk ditangisi. Dan bukan cuma untuk dicaci-maki. Karena yang semua terjadi adalah untuk kita renungi. Sekaligus mempertanyakan hati nurani bahwa sudah cukup mampukah kita mempertahankan iman di tengah beratnya cobaan?

[Qt.]

Thursday, September 10, 2009

TEGANG RASA


Busway adalah kendaraan umum yang saya cintai dengan sepenuh hati. Jika ada senggang, entah mengapa saya rela menunggu berlama-lama untuk mengantri, di dalam busway berdiri sambil memperhatikan perilaku penumpang lain yang kadang membuat saya geli. Ada yang matanya pura pura terpejam –somewhere, out of earth-kah?-, atau sibuk dengan telepon genggamnya pencet sana pencet sini, atau juga jiwa jiwa muda yang memakai earphone lalu siap acting tuli.

Seperti minggu kemarin, ketika saya pulang dengan menumpang transportasi ini dari arah Stasiun Kota menuju Blok M. Ketika saya naik, busway itu hampir penuh terisi. Tidak ada yang berdiri. Dan saya memilih duduk di dekat pintu agar mudah jika turun nanti. Tak lama busway berhenti pada satu halte. Seorang gadis sebaya –cantik- masuk, menengok kanan dan kiri lalu berdiri –persis di depan saya-. Tapi saya benar benar tak mengira saja ketika dia tiba tiba berucap, “Mas, tenggang rasa dong!”. Saya langsung bengong. Hah? Apa apaan ini? Kursi di belakang kan jelas jelas masih kosong.

Saya mengerenyitkan dahi, masih berupaya memahami apa itu maksud tenggang rasa yang dimaksud gadis ini. Namun akhirnya dengan mengalah –dan dongkol-, saya menggeser sedikit posisi duduk saya, sehingga ada sedikit ruang untuk duduk -tidak begitu longgar sih-, namun sikap pahlawan kesiangan saya ternyata tidak pula menuai pujian, gadis itu kembali berkomentar lebih sinis, “Ih… mas… sama cewek aja gak mau ngalah, gimana sih? Gak gentle banget jadi cowok? Gimana elu mau dapet jodoh cobak? Kasihan banget sih orang yang bakal elu per-istri nanti?”. Wew… Sadis. –saya hampir tersedak sandal mendengarnya-.

Menegang

Seperti salah dengar, tapi ternyata kata kata itu benar terlontar. Saya terperangah. -kaget juga-. Setidaknya saya heran kenapa puasa puasa seperti ini ada orang yang sedang gemar memaki maki. Saya memang salah karena tidak mau pindah, tapi menurut saya ini konyol sekali. Membuat saya bertanya tanya sebenarnya tenggang rasa itu punya berapa banyak arti?

Saat itu kemaluan –dalam artian rasa malu, bukan arti yang lain- saya seperti ditampar. Kami adalah center of attention sekarang. Semua orang memandang kami namun hanya diam. Tidak ada yang berkomentar.

Jadi, cukup. Saya berdiri. Posisi kami sekarang persis saling berhadapan muka. Sebenarnya saya cuma ingin berbisik di telinganya saja. Tapi mungkin karena luapan emosi dan rasa dipermalukan luar binasa, suara saya naik beberapa desibel dari yang saya harapkan. Dan dengan mantab saya katakan dengan tidak pelan namun perlahan persis ditelinganya, “Mbak…! Saya tahu kita orang timur. Saya juga tahu apa itu artinya toleransi. Jangan sampai tenggang rasa yang mbak agung agungkan itu berubah jadi tegang rasa hanya karena salah cara. Dan… Gak perlu mengasihani jodoh saya nanti..! Pikir aja mbak, rasio cowok cewek di Indonesia ini udah 1 banding 4. Itu belum dikurangi ama cowok cowok homo yang makin banyak di negara ini. Kalau mbak cerdas, harusnya mbak sadar siapa dari kita yang bakal rebutan jodoh nanti…!!!”fyi, saya mengakhiri dialog saya tetap dengan mencoba tersenyum- -tapi tetap tampil lebih sadis--hohoho... ketawa setan-.

But... damn. Leher saya seperti dicekik setelah mengatakannya. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar begitu saja –bahkan saya baru sadar sebenarnya apa korelasi dari tenggang rasa dengan mendapatkan jodoh nantinya-. Dan yang perlu saya syukuri adalah orang orang dalam busway itu masih tetap diam. Tak berkomentar. Apatisme rakyat Jakarta untuk saat ini sedikit menguntungkan saya.

Saya meninggalkan gadis itu yang masih diam berdiri. Dia tidak berkata apa-apa, jadi saya melenggang pergi. Sebelum orang orang melempari saya dengan panci, saya turun di halte terdekat berikutnya, karena saya tidak mau perjalanan saya dipandangi nista oleh penumpang lain karena menganggap saya sebagai pendosa. Turun dari halte, saya memaki diri. Bagaimanapun saya telah membuat gadis itu –mungkin- sakit hati. Ah… Sial. Puasa saya batal atas nama emosi. Dan saya menunggu busway berikutnya dengan perasaan bersalah dan kalah.

Menenggang

Tenggang rasa didefinisikan oleh Pusat Bahasa sebagai: “dapat (ikut) menghargai (menghormati) perasaan orang lain”. Saya sangat kagum bahwa Jakarta sanggup mendidik mental rakyatnya untuk kuat jiwa dan menjadi tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Itulah yang membuat saya selalu berpikir bahwa toleransi untuk saling menghargai kecuekan pribadi masing masing di sini sangatlah tinggi. Saya tidak pernah mempermasalahkan kenapa ketika saya berdiri sesak di Kopaja misalnya, tidak ada yang memberi saya tempat duduk untuk berbagi. Karena saya tahu masing masing punya alasannya sendiri dan harusnya saya sadar diri dengan konsekuensi berada di tempat umum bukanlah tempat yang tepat untuk me-raja-kan diri.

Berpikirlah positif. Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja orang yang memilih untuk duduk dan tidak memberi kursinya untuk kita, baru saja melakukan perjalanan panjang penuh peluh yang melelahkan, atau masih harus berjuang lagi untuk mencapai tujuan yang akan dikunjunginya nanti. Bisa jadi juga, alasan mereka tidak berbagi kursi karena mereka benar benar membutuhkannya. Who knows? Sahabat saya, yang memiliki jantung lebih lemah namun dari luar nampak sehat dan penuh gairah tidak perlu memberikan pengumuman pada semua orang bahwa dia adalah seorang penyakitan yang butuh perhatian bukan?

Sebelum menghujat orang miskin tenggang rasa, belajarlah untuk berkaca. Jangan pertanyakan tenggang rasa yang dimiliki oleh dia, atau mereka. Karena beban tenggang rasa juga milik kita, milik saya. Hargailah perasaan orang lain. Jangan asal menuduh kenapa orang lain tidak mengalah untuk kita yang lebih lemah. Hanya orang dangkal yang berpikiran bahwa hanya dirinya sendiri yang selalu patut dikasihani. Tuhan tidak menciptakan umatnya hanya untuk mengemis iba.

Setidaknya, berbesar hati adalah cara terbaik untuk menghargai dan menemukan hakikat tenggang rasa kembali. Jangan sampai situasi yang kita harapkan akan menenggangkan hati, malah berbalik tegang dan membuat salah satu pihak sakit hati. Tenggang rasa tidak membuat seseorang diantaranya tersenyum menang dan disisi yang lain menahan dendam. Tenggang rasa berbicara tentang keikhlasan hati sampai masing masing pribadi mencapai orgasme kepuasan diri. Bayangkan jika seseorang memberi makan pada anda dengan melemparnya ke muka anda secara paksa, apa anda yakin makanan itu akan lancar tertelan di tembolok anda?

[Qt.]

Sunday, August 16, 2009

MENGOBRAL GOMBAL part. 2


Inilah pertama kali dalam hidup, saya kehilangan seorang sahabat –sangat- dekat dimana tidak kurang seperempat dari 24 jam hidup saya dalam sehari selalu dihabiskan bersama-sama dengannya. Damn. Dua minggu telah berlalu saat dia memejamkan mata untuk selama-lamanya, dan saya masih terpuruk disini mencoba menghalau pikiran bahwa dia masih akan kembali. Saya sangat –sangat- menyesal tidak bisa mematikan khayalan saya betapa senangnya nanti kita akan menyambut puasa tahun ini bersama. Sekedar mencari makan sahur atau menghabiskan waktu sebelum berbuka. Sial.

Kesalahan saya sebenarnya adalah belum –ingin- terlalu ikhlas melepasnya. Otak saya masih bernalar bahwa dia hanya pergi sebentar. Tugas keluar untuk beberapa hari di kota yang tak jauh dari Jakarta ini. Namun dalam hitungan hari nanti pasti akan kembali datang untuk pulang. It’s hurt. Selalu sakit kehilangan orang yang kita cintai dan dengan angkuhnya saya beranikan bertanya pada Sang Pencipta: “Mengapa?”. Tapi saya tahu, sebenarnya untuk mengobati rasa sakit kehilangan ini yang saya butuhkan hanya satu. Mengikhlaskannya benar benar. Total.


Menanyakan Apa yang Saya Sesali

Namanya Bejo Andimursanto. Harusnya namanya terdiri dari 3 kata, Bejo, Andi, dan Mursanto. Namun karena salah ketik pada akte kelahirannya maka namanya berevolusi menjadi yang sekarang. –padahal itu tak memberi pengaruh apapun dengan panggilan yang biasa saya lakukan: Jebo-. Bejo dalam bahasa jawa berarti beruntung, dan sesuai dengan doa yang dititipkan lewat namanya, hidupnya sungguh menyenangkan –setidaknya bagi saya, he’s so lucky, you know…!-. Memiliki banyak hal yang tidak saya miliki. Kemampuan bersosialisasi. Pembawaan diri. Adaptasi. Penghibur yang handal. Dan kemampuan membuat orang lain nyaman. Intinya banyak hal yang bisa saya iri-kan padanya.

Tidak kurang dari 10 jam sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, percakapan terakhir yang saya lakukan dengannya lewat telepon genggam adalah pertanyaannya yang dilontarkan sebelum perbincangan itu kami akhiri: “…kok hari ini [sabtu, 1 agustus 2009] gak kesini sih? kenapa cobak musti besok? kangen tauk…!” dan saya hanya menanggapi: “..eh blekoq… bukannya gw musti ngejagain kamar lu biar bokap lu bisa ambil baju di kosan kita hari ini… makanya… jangan suka penyakitan lah… ribet tauk… awas aja kalo besok pagi gw kesana elu cuma bisa tergeletak akting jadi kasur dan gak ngajak kami jalan-jalan keliling Bandung”.

Saya jarang mengungkapkan perasaan sayang saya secara frontal. Saling mencela adalah bagian dari cara kami berkomunikasi. Namun yang saya sesalkan adalah mengapa saya tidak memilki sama sekali firasat bahwa itu adalah obrolan saya yang terakhir dengannya. Waktu itu saya terlalu sombong untuk bilang bahwa saya juga tidak sabar menanti besok pagi untuk berangkat ke Bandung dan segera bertemu kembali. Sekarang dia tidak akan pernah tahu bagaimana saya sangat sayang dan merindukannya sangat –sangat-. Miss him so so so bad. A lot… a lot. Damn. It’s hard to be true. Kemana saya pada jam 2 dini hari berikutnya ketika dia berjuang bertahan kemudian menghembuskan nafas panjangnya yang terakhir 2 jam kemudian. Dia telah pulang. Dia telah berpulang terlebih dulu sebelum saya datang.


Menanyakan Siapa yang Saya Tangisi

Saya tidak menangis. Setidaknya saya tidak menangis sangat tragis untuk kehilangan ini. Tangis saya hanya meledak ketika mendengar kabar duka mengenainya untuk 2 telepon dari kawan saya yang lain. Selebihnya saya adalah aktor yang handal yang berusaha –sok- tegar untuk menegarkan hati yang lain. Tangis saya hanya meledak kembali ketika saya benar benar menyentuh jenazahnya. Tubuh bekunya. Jasad yang telah banyak menemani hidup saya selama 5 tahun terakhir ini. Baru kemudian mengharu biru kembali setelah saya pulang kembali ke Jakarta. Membereskan kamarnya sebisa saya sendirian. Merindukan bagaimana dia dulu sering memarahi saya kalau saya mengacak-ngacak seprei kasurnya untuk menumpang tidur di kamarnya. Dan untuk saat itu saya tidak punya keinginan untuk menahan mata saya yang telah berair untuk mengalir.

Apa yang saya tangisi? Tunggu. Ternyata saya tidak menangisi apapun. Saya terlalu egois untuk menangisi kehilangan yang saya punya. Yang saya lakukan ternyata hanya menangisi diri saya sendiri. Segalanya berakhir pada pertanyaan: Siapa? –tapi tetap menyangkut hidup saya-.

Menanyakan siapa yang akan menemani saya nanti mencari makan malam? Siapa yang akan mendengarkan keluhan keluhan saya tengah malam? Siapa yang akan menemani saya berperilaku gila? Siapa yang mau menanggapi celaan saya dengan canda? Siapa yang akan ikhlas mendengar saya bernyanyi lagu lagu Doel Sumbang dan Nini Carlina? Semuanya tentang saya. Tentang apa yang akan saya lakukan tanpa sahabat saya tercinta. Bagaimana saya bisa bertahan sendirian setelah kehilangan. Sial. Saya baru sadar yang saya ratapi ini segalanya hanya tentang saya dan hal hal yang harus saya lakukan setelah kehilangan. Bagaimana malangnya nasib saya nanti dan bagaimana saya akan kehilangan perasaan perasaan nyaman seperti dulu jika kami melakukan sesuatu bersama sama. Saya masih belum mampu.

Saya menyesal sangat jarang melontarkan kata kata gombal kepadanya dulu. Mengatakan padanya bahwa saya selalu bersyukur memiki sahabat terbaik. Sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Mengatakan bahwa saya sangat menyayanginya dengan sangat. Sangat bangga bahwa saya pernah mengenalnya dan dia memberi pengaruh besar dalam memaknai hidup saya. Dan mengatakan kalimat kalimat lakhnat lainnya sebelum segalanya terlambat. Terlambat seperti sekarang.

Pesan kehilangan yang disampaikan lewat kematian seharusnya mendewasakan kita tentang makna bahwa sudah selayaknya kita memanfaatkan waktu yang kita punya untuk saling menyayangi. Kadang kita tidak menyadari betapa sesuatu itu sangat berarti sampai kita kehilangan dia. Selagi kita masih sempet dan berkesempatan menunjukkan kita sayang pada seseorang, lakukanlah. Rendahkan diri. Ungkapkan cinta dan hargai orang lain sebagaimana anda menganggapnya sesuatu yang berharga. Karena mengobral gombal bukan sesuatu yang haram dan bukan hal yang bisa kita kategorikan sebagai hal nista nan hina.

Bejo. Terima kasih. Terima kasih telah mengingatkan saya arti pentingnya sahabat. Pelajaran terakhir yang kau ajarkan ini akan jadi pembelajaran terbaik untuk saya tidak mengulang kesalahan yang sama dikemudian hari. Baik baik kau di rantau. Banyak cinta mengiringi dan saya akhiri pemakaman ini dengan pemberitahuan bahwa: “Telah meninggal dunia, teman, sahabat, kakak, dan guru bagi saya: Bejo Andimursanto (24 september 1985 – 2 agustus 2009) di Bandung, setelah 23 tahun berjuang bertahan dengan kondisi jantung yang lebih lemah dari orang yang lebih beruntung kebanyakan. Meninggalkan banyak kawan dan mewariskan banyak kenangan untuk orang orang yang mencintainya dengan sangat… Sampai bertemu kembali saudaraku. Suatu saat kami pasti akan menyusulmu. Miss you… beib, always, a lot.

I just want you to know, no matter where you go. It doesn’t matter cause you’re still in my heart.

[Qt.]

About This Kriminal

saya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau mendoktrin siapapun karena saya tidak hobi berperilaku untuk membentuk sebuah kepercayaan baru. saya adalah seorang pembelajar. superhuman. sama sama mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia dianugerahi nalar, akal, dan pikiran yang tidak hanya sekedar untuk dijadikan pajangan.

::..

jika saya salah, mohon untuk diingatkan. saya akan mencoba untuk bisa menemukan pemikiran yang sejalan.

::..

banyak banyak terima kasih saya sampaikan untuk anda yang sempat membaca. berani mencela. atau sekedar tertawa. dan saya tutup narasi ini dengan ajakan untuk kita sama sama memberikan banyak warna pada dunia.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP