Thursday, September 10, 2009

TEGANG RASA


Busway adalah kendaraan umum yang saya cintai dengan sepenuh hati. Jika ada senggang, entah mengapa saya rela menunggu berlama-lama untuk mengantri, di dalam busway berdiri sambil memperhatikan perilaku penumpang lain yang kadang membuat saya geli. Ada yang matanya pura pura terpejam –somewhere, out of earth-kah?-, atau sibuk dengan telepon genggamnya pencet sana pencet sini, atau juga jiwa jiwa muda yang memakai earphone lalu siap acting tuli.

Seperti minggu kemarin, ketika saya pulang dengan menumpang transportasi ini dari arah Stasiun Kota menuju Blok M. Ketika saya naik, busway itu hampir penuh terisi. Tidak ada yang berdiri. Dan saya memilih duduk di dekat pintu agar mudah jika turun nanti. Tak lama busway berhenti pada satu halte. Seorang gadis sebaya –cantik- masuk, menengok kanan dan kiri lalu berdiri –persis di depan saya-. Tapi saya benar benar tak mengira saja ketika dia tiba tiba berucap, “Mas, tenggang rasa dong!”. Saya langsung bengong. Hah? Apa apaan ini? Kursi di belakang kan jelas jelas masih kosong.

Saya mengerenyitkan dahi, masih berupaya memahami apa itu maksud tenggang rasa yang dimaksud gadis ini. Namun akhirnya dengan mengalah –dan dongkol-, saya menggeser sedikit posisi duduk saya, sehingga ada sedikit ruang untuk duduk -tidak begitu longgar sih-, namun sikap pahlawan kesiangan saya ternyata tidak pula menuai pujian, gadis itu kembali berkomentar lebih sinis, “Ih… mas… sama cewek aja gak mau ngalah, gimana sih? Gak gentle banget jadi cowok? Gimana elu mau dapet jodoh cobak? Kasihan banget sih orang yang bakal elu per-istri nanti?”. Wew… Sadis. –saya hampir tersedak sandal mendengarnya-.

Menegang

Seperti salah dengar, tapi ternyata kata kata itu benar terlontar. Saya terperangah. -kaget juga-. Setidaknya saya heran kenapa puasa puasa seperti ini ada orang yang sedang gemar memaki maki. Saya memang salah karena tidak mau pindah, tapi menurut saya ini konyol sekali. Membuat saya bertanya tanya sebenarnya tenggang rasa itu punya berapa banyak arti?

Saat itu kemaluan –dalam artian rasa malu, bukan arti yang lain- saya seperti ditampar. Kami adalah center of attention sekarang. Semua orang memandang kami namun hanya diam. Tidak ada yang berkomentar.

Jadi, cukup. Saya berdiri. Posisi kami sekarang persis saling berhadapan muka. Sebenarnya saya cuma ingin berbisik di telinganya saja. Tapi mungkin karena luapan emosi dan rasa dipermalukan luar binasa, suara saya naik beberapa desibel dari yang saya harapkan. Dan dengan mantab saya katakan dengan tidak pelan namun perlahan persis ditelinganya, “Mbak…! Saya tahu kita orang timur. Saya juga tahu apa itu artinya toleransi. Jangan sampai tenggang rasa yang mbak agung agungkan itu berubah jadi tegang rasa hanya karena salah cara. Dan… Gak perlu mengasihani jodoh saya nanti..! Pikir aja mbak, rasio cowok cewek di Indonesia ini udah 1 banding 4. Itu belum dikurangi ama cowok cowok homo yang makin banyak di negara ini. Kalau mbak cerdas, harusnya mbak sadar siapa dari kita yang bakal rebutan jodoh nanti…!!!”fyi, saya mengakhiri dialog saya tetap dengan mencoba tersenyum- -tapi tetap tampil lebih sadis--hohoho... ketawa setan-.

But... damn. Leher saya seperti dicekik setelah mengatakannya. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar begitu saja –bahkan saya baru sadar sebenarnya apa korelasi dari tenggang rasa dengan mendapatkan jodoh nantinya-. Dan yang perlu saya syukuri adalah orang orang dalam busway itu masih tetap diam. Tak berkomentar. Apatisme rakyat Jakarta untuk saat ini sedikit menguntungkan saya.

Saya meninggalkan gadis itu yang masih diam berdiri. Dia tidak berkata apa-apa, jadi saya melenggang pergi. Sebelum orang orang melempari saya dengan panci, saya turun di halte terdekat berikutnya, karena saya tidak mau perjalanan saya dipandangi nista oleh penumpang lain karena menganggap saya sebagai pendosa. Turun dari halte, saya memaki diri. Bagaimanapun saya telah membuat gadis itu –mungkin- sakit hati. Ah… Sial. Puasa saya batal atas nama emosi. Dan saya menunggu busway berikutnya dengan perasaan bersalah dan kalah.

Menenggang

Tenggang rasa didefinisikan oleh Pusat Bahasa sebagai: “dapat (ikut) menghargai (menghormati) perasaan orang lain”. Saya sangat kagum bahwa Jakarta sanggup mendidik mental rakyatnya untuk kuat jiwa dan menjadi tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Itulah yang membuat saya selalu berpikir bahwa toleransi untuk saling menghargai kecuekan pribadi masing masing di sini sangatlah tinggi. Saya tidak pernah mempermasalahkan kenapa ketika saya berdiri sesak di Kopaja misalnya, tidak ada yang memberi saya tempat duduk untuk berbagi. Karena saya tahu masing masing punya alasannya sendiri dan harusnya saya sadar diri dengan konsekuensi berada di tempat umum bukanlah tempat yang tepat untuk me-raja-kan diri.

Berpikirlah positif. Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja orang yang memilih untuk duduk dan tidak memberi kursinya untuk kita, baru saja melakukan perjalanan panjang penuh peluh yang melelahkan, atau masih harus berjuang lagi untuk mencapai tujuan yang akan dikunjunginya nanti. Bisa jadi juga, alasan mereka tidak berbagi kursi karena mereka benar benar membutuhkannya. Who knows? Sahabat saya, yang memiliki jantung lebih lemah namun dari luar nampak sehat dan penuh gairah tidak perlu memberikan pengumuman pada semua orang bahwa dia adalah seorang penyakitan yang butuh perhatian bukan?

Sebelum menghujat orang miskin tenggang rasa, belajarlah untuk berkaca. Jangan pertanyakan tenggang rasa yang dimiliki oleh dia, atau mereka. Karena beban tenggang rasa juga milik kita, milik saya. Hargailah perasaan orang lain. Jangan asal menuduh kenapa orang lain tidak mengalah untuk kita yang lebih lemah. Hanya orang dangkal yang berpikiran bahwa hanya dirinya sendiri yang selalu patut dikasihani. Tuhan tidak menciptakan umatnya hanya untuk mengemis iba.

Setidaknya, berbesar hati adalah cara terbaik untuk menghargai dan menemukan hakikat tenggang rasa kembali. Jangan sampai situasi yang kita harapkan akan menenggangkan hati, malah berbalik tegang dan membuat salah satu pihak sakit hati. Tenggang rasa tidak membuat seseorang diantaranya tersenyum menang dan disisi yang lain menahan dendam. Tenggang rasa berbicara tentang keikhlasan hati sampai masing masing pribadi mencapai orgasme kepuasan diri. Bayangkan jika seseorang memberi makan pada anda dengan melemparnya ke muka anda secara paksa, apa anda yakin makanan itu akan lancar tertelan di tembolok anda?

[Qt.]

About This Kriminal

saya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau mendoktrin siapapun karena saya tidak hobi berperilaku untuk membentuk sebuah kepercayaan baru. saya adalah seorang pembelajar. superhuman. sama sama mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia dianugerahi nalar, akal, dan pikiran yang tidak hanya sekedar untuk dijadikan pajangan.

::..

jika saya salah, mohon untuk diingatkan. saya akan mencoba untuk bisa menemukan pemikiran yang sejalan.

::..

banyak banyak terima kasih saya sampaikan untuk anda yang sempat membaca. berani mencela. atau sekedar tertawa. dan saya tutup narasi ini dengan ajakan untuk kita sama sama memberikan banyak warna pada dunia.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP