I need your arms around me, I need to feel your touch … I need your understanding, I need your love, So much, … You tell me that you love me so, You tell me that you care, … But, when I need you…, Baby, You're never there
On the phone, Long long distance, Always through such, Strong resistance, … When first you say, You're too busy, I wonder if you, Even miss me
- Never There; Cake
Lagu itu dikirimkan oleh partner saya via e-mail beberapa minggu lalu setelah dia kembali dari liburan akhir pekan di Jakarta. –lengkap dengan lirik lagunya. Men-sukseskan saya untuk cukup melongo. Ternganga lebar sebesar bibir saya yang tebal.
Saya tidak pernah merasa sadar saya melakukan kesalahan yang dituduhkan sampai saya diingatkan kembali oleh dia mengenai teori dasyatnya tentang manajemen-prioritas-saya yang gagal total saya terapkan di dunia nyata nan fana ini. Bagaimana hebatnya dia melakukan aksi protes diam [walau sebenarnya opsi aksi jahit bibir jauh terkesan lebih dramatis] akan perilaku ajaib saya dimana saat dia berkunjung di akhir pekan itu, saya malah lebih memilih jalan bersama sahabat saya yang lainnya.
Dialah yang pertama kali mengatakan [--mengingatkan] bahwa perilaku saya yang berlebihan memuja kawan-kawan saya saat ini sudah dalam kasta diluar kewajaran. [kami perang dingin, kemudian – sempat terpikir untuk saling berbacokkan bahkan]
Superfriend [Wannabe]
Mungkin saya [sangat] terobsesi dan tergila gila akan mimpi bisa menjadi seorang kawan yang luar biasa bagi sahabat sahabat saya tercinta. Saya dipecundangi oleh kata “tidak” karena hampir tak mampu menolak permohonan seorang kawan dimana selama masih bisa saya upayakan, saya di-rodi kuat untuk memperjuangkan.
Saya trauma. Saya sudah [masih] tahu rasa sesalnya kehilangan salah seorang sahabat terbaik saya dimana dengan hebatnya saya telah membuatnya kecewa di akhir perjalanannya di dunia, saya malah jarang menemaninya. Dan saya terluka setiap membaca tulisan terakhirnya perihal kesepian mengenai teman-temannya yang sedang [sok] sibuk autis dalam masing dunianya. [saat itu saya memang sedang gemar berkeliaran bersama partner saya setiap harinya]. Dan Selesai. Lalu semua cerita itu tamat. Diakhiri dengan sahabat saya kemudian meninggalkan Bumi. Say goodbye kepada dunia dan saya dalam kondisi [saya] cacat sesal moral.
Saya merasa dihantam berton-ton beban dosa atas kehilangan ini. Saya ingin [sekali] memperbaiki diri menjadi sahabat yang baik untuk masing masing hati.
Pernah suatu saat ketika saya akan beribadah, seorang kawan mempertanyakan pada saya mengapa saya tidak mengajak sahabat saya [yang lainnya] untuk melakukan ritual yang serupa karena saat itu kami memang sedang pergi bersama. Saya bilang bahwa beribadah adalah prerogative manusia dan saya sangat menghormati integritas macam apa yang dilakukan sahabat saya pada kepercayaannya sendiri. Saya tidak dalam kondisi figur yang berhak mengingatkan, karena saya tak pernah mengandung dan memberi sahabat saya asupan makanan sejak dia dilahirkan. [kilah saya].
Lalu kawan saya bilang, bahwa itulah yang membuat hal mengenai menjadi “sahabat yang baik” dan “sahabat yang benar” adalah sesuatu yang berbeda arti baik makna leksikal maupun sekadar gramatikal. Sungguh tega saya membuat sahabat saya terlantar di jalan yang lebih terjal. Saya dihina tidak becus dalam mengingatkan kawan akan suatu kesalahan.
Superfriend [It’s Not Easy]
Sempat saya berbangga hati mengakui diri sebagai sahabat super yang sanggup melakukan apapun untuk orang orang yang saya cintai. Gemar mengakui kawan dekat sebagai sahabat, walau nyatanya, saya cuma mimpi. Keinginan saya untuk menjadi pahlawan itu tak lebih dari sekadar cari muka dan sok baik semata. Bahwa jauh dari lubuk hati ini, mengingatkan keburukan saja saya belum berani. Saya takut setengah mati dijauhi.
Dan saya berdiri sekarang hanya dengan menutupi aib setengah hati mengakui makna persahabatan saya yang hanya secuil ikan teri di pinggiran pantai pantai bumi. Malu malu tertahan menyangkal bahwa makna yang saya berikan terhadap arti sahabat sangatlah dangkal. Saya bukanlah hidup sebagai sahabat yang benar, tapi ironinya hanya sampai pada sekadar seorang kawan yang selalu penuh pembenaran.
Perang dingin saya dan partner saya lalu hari ditutup dengan kata-katanya yang membuat saya terbata-bata menelannya. “Cintailah saya seperti kamu mencintai sahabat sahabat kamu sebagaimana adanya. Karena saya ini hanya cemburu dan membuta dibuatnya”. [isak] Saya masih waras untuk malu dan berharu biru menanggapi kata-kata itu. Coba bantu saya menjawab bagaimana saya mencintainya dengan pincang dan tercela seperti yang sudah saya lakukan pada sahabat saya.
Anda diperbolehkan kasihan pada mental hidup saya yang menyedihkan. Mengiba dan berjuang mempertahankan cinta orang orang terdekat saya mati-matian. Lebih memilih menjadi “sahabat yang baik” tanpa keberanian jujur dalam perisai ketakutan kehilangan. Setidaknya mari ijinkan saya belajar untuk menjadi sahabat yang lebih benar meskipun resiko kehilangan akan membuat jantung saya terus kencang bergetar.
Dan ketahuilah, berpikiran naif memperjuangakan diri menjadi sahabat super dalam kilah seperti diri saya sungguhlah tak mudah.
…It’s not easy to be me
- Superman, It’s Not Easy; Five For Fighting
[Qt.]