Ketar ketir saya mencoba menghubungi ibu saya ingin menanyakan apakah ada keluarga kami disana yang menjadi korban gempa. Bingung sesaat –ingin berteriak histeris- tapi saya tahu saya harus tenang karena saya harus perlahan mengumpulkan bekal untuk menyiapkan dukungan. Banyak dukungan.
Saya sedang berpikir mengapa saya harus kaya. Pikiran yang sama ketika keluarga kami di Jogja dulu mengalami musibah yang sama. Pikiran pikiran yang selalu ada jika seseorang yang dekat dengan saya sedang ditimpa musibah yang ujung-ujung-nya selalu melibatkan dana.
Dulu pernah juga suatu saat, seorang sahabat mengabarkan bahwa adiknya harus menjalani operasi tumor di belakang lever dan kandung kemihnya. Dan jika dua hari setelahnya operasi itu tidak segera dilakukan, dikhawatirkan tumor tersebut akan pecah dan akan meracuni darahnya. Saya yang memang tidak pernah mendapatkan pelajaran biologi hanya bisa sok mengerti dan ternganga. Mata saya langsung fokus pada 8 digit rupiah angka yang dibutuhkan untuk melakukan operasi tersebut secepatnya. Puluhan juta. Dan saya hanya bisa berusaha bertahan untuk tidak pingsan dan tiba tiba melompat dari lantai dua kosan saya.
Saya mengenal sahabat saya ini cukup lama. Dan saya tahu bagaimana kondisi keuangan keluarganya. Apalagi ketika saya menelepon, dia bilang malam itu juga dana yang terkumpul harus sudah ada minimal 75% dari total yang dibutuhkan. Dia bingung, bahkan pasrah saja ketika bilang harus mencari kemana lagi. Dan saya cuma bisa bilang: “Tenang saja…!”, -padahal saya sangat tahu bahwa masalah ini jauh lebih rumit dari menyelesaikan problem soal inter akuntansi dan bahkan jauh lebih abstrus daripada saat kita harus mengisi form penempatan instansi-.
Sadar Kadar
Di bawah payung yang melindungi saya dari air hujan yang tidak berhenti dari siang hari, saya mulai berlari mencari bantuan kesana kemari. Saat itu saya cuma bisa berkhayal bahwa seandainya saya adalah orang yang kaya, betapa mudahnya saya akan bilang ke sahabat saya, “Oooh.. cuma butuh segitu saja…? Iya.. nanti saya transfer sekitar beberapa milyar. Sekalian buat beli pabrik obat agar para dokter itu jauh lebih tenang dan punya banyak waktu untuk belajar”. Andai saya kaya, betapa besar kans saya untuk membuat orang lain bahagia. Betapa akan mudahnya saya membantu orang lain yang terkena musibah dengan meringankan bebannya. Uang memang bukan segalanya. Tapi nyatanya sayang segalanya memang butuh uang.
Saya benar-benar ingin kaya. Sangat kaya. Kadar yang besar dalam bergelimang harta. Hhh... saya putus asa. Sampai sampai saking bingungnya saya lupa harus memberikan dukungan moral pada sahabat saya. Hal yang mungkin diperlukannya saat itu juga. Meski tak nyata, tapi saya merasa bukankah itu juga berharga. Segalanya memang butuh uang. Tapi nyatanya uang memang bukan segalanya.
Saya terlalu sibuk untuk jadi pahlawan kesorean. Harusnya saya sadar terhadap kadar kemampuan saya menolong seseorang. Saat itu saya yakin memiliki kadar dukungan mental untuk bersabar yang jauh lebih besar dari sahabat saya yang mungkin saat itu kadar sabarnya hampir memudar. Andai sabar bisa menular. Saya ingin saat itu juga lari kepadanya untuk mendonorkannya dan bilang segalanya akan baik baik saja.
Kadar Sabar
Saya bersyukur hidup dalam lingkungan yang mengajarkan saya untuk selalu belajar. Belajar menjadi orang yang sabar. Belajar untuk menjadi orang yang tegar. Dan belajar untuk menjadi orang dengan jiwa yang besar. Masih belum sempurna memang, tapi saya memang masih dalam tahap sebagai pembelajar.
Kadang saya takjub dengan kebesaran untuk bersabar yang dimiliki sahabat saya ini yang melebihi porsi yang saya miliki. Ayahnya meninggal karena gagal ginjal, ibunya pernah terkena kanker rahim, dan adiknya yang lain terkena bronkhitis. Kalau saya mungkin takkan pernah bisa berhenti menangis. Tapi saya yakin bahwa sabar tak akan pernah habis terkikis. Sabar adalah bentuk nyata rasa syukur kita yang dapat membuat kita masih dapat mencoba tersenyum manis walaupun saat itu hati kita sedang terasa miris. Karena sabar tidak mengenal kata: Habis.
Saya memang harus kaya. Tapi tak hanya harta. Moral, persahabatan, rasa tenang, dan juga rasa sabar. Tak mengapa jika memang segalanya diberi dalam kadar yang tak seberapa. Jika kita memiliki kemampuan untuk selalu mensyukuri segalanya yang telah diberikan, porsi yang wajar bisa jadi akan terasa sangat besar bukan?
Untuk saudara kami yang sedang mengalami musibah besar di Padang. Saya sudah tidak sanggup berkata kata lagi untuk mengobral seberapa besar dukungan yang saya punya untuk kalian. Dari jauh hanya bisa mengirimkan dukungan doa dan bantuan materi yang tak seberapa. Sadar kadar sabar. Meyakini sepenuh hati bahwa bencana bukan cuma untuk diratapi. Bukan cuma untuk ditangisi. Dan bukan cuma untuk dicaci-maki. Karena yang semua terjadi adalah untuk kita renungi. Sekaligus mempertanyakan hati nurani bahwa sudah cukup mampukah kita mempertahankan iman di tengah beratnya cobaan?
[Qt.]
aku juga pengen kaya, kaya materi dan hati say.. pengen bangun sekolah gretong, pengen bangun rumah penampungan, pengen punya tim 'siaga bencana' yg independen, pengen smua2 wes pokoke..
ReplyDeletekapan kita kaya ya say?? kalo ntik kamu kaya, ajak2 laaahhh... ;))
good boy...
ReplyDeleteKamu bisa menyikapi bencana dengan demikian...
'it takes guts to be mature...'
Berat-berat-berat........
ReplyDelete@runnie
ReplyDeletengawur kamu nduk..
ahahaha...
kalo kita kaya...
kita pasti nanti dah sibuk belanja... sibuk nenteng nenteng blackberry..
mana sempet kita orang mikiran gituan... --ironi...
--minta dibangunkan dari khayalan...
@Alil
dah nambah setahun mas umur saya....
masak gak dewasa dewasa.... --hayah...
@lucky
istirahat-istirahat-istirahat........
huwow, pilihan kata2nya jadi bikin gw mikir ini essay atau puisi ya hehehe...
ReplyDeletemantap om ekspresif. btw kera ngalam pisan yo?
---daaang...
ReplyDeleteoyi sam...
ada blesteran darah kera ngalam---padang...
makanya jadinya abstrak begini... --ghe ghe ghe
---peringatan nyata untuk para orang tua multi ras...
two tumbs up!!!
ReplyDelete*standing ovation*
ReplyDeleteokiiit mantap nian...
oh ya kalo udah kaya harta, jangan lupa gw yaaa... :D
@Farrel Fortunatus
ReplyDeleteterima kasih... ---cengar cengir garuk garuk kepala... --terbang..
@mutia
yah.. semoga hadi purnomo membawa kehidupan gw menjadi lebih baik ya neng... ---plaaak..
apa apa an ini maskudnya...
oiye... semoga orang yang gw tebeng-kan di essay di atas... gak menuntut royalti karena kehidupannya gw pinjem untuk digunjingkan... --amin
Sepurane ya kang Okit, but what do you think of this?
ReplyDeletehttp://jecki.wordpress.com/2008/11/24/kewajiban-pajak-wni-di-luar-negeri/
eh baidewei... si orang yg jadi objek pergunjingan lo itu si teman kita itu bukan sih? yg kantornya sewilayah sama gw?
ReplyDelete(makin kebuka deh identitasnya :D )
@Arema
ReplyDeletepun disekacakaken lewat imel yo kang..
gak baek soale bergunjing via koment..
---huahahah...
@mutia
huahahaha...
iya..
itu... sebut aja pernah ngilangin duit 3000-nya pas ke bogor... dan membuat temen se-tim-nya (apes-nya kok ya gw) cuma makan malem pake nasi plus kuah doang... ama satu tahu yang dibagi dua... (padahal bodinya aja dah 20 orang) <---- obrolan yang makin vulgar
gak nyangka ya masa masa lakhnat kita dulu terasa menyenangkan rupanya... --kangen...