Saturday, March 3, 2007

PELAJARAN MENCURI


Saya jengkel bukan main ketika beberapa waktu yang lalu “kata-kata” saya diakuisisi secara perlahan oleh kawan saya. Pada dasarnya saya menyimpan kedongkolan luar biasa mendalam hingga ingin memutilasi kawan saya itu, hanya saja saya disadarkan perbuatan saya yang juga sama busuknya jika sedang mengutip kata-kata orang lain dan perlahan melekat dalam keseharian. Jadi akhirnya saya ikhlaskan saja. Toh itu sudah sering dan bukan untuk pertama kali terjadi. Baik pencurian kata yang dilakukan kawan saya itu maupun perbuatan plagiat saya yang sama nistanya. Sabar.


Memang butuh kelapangan dada luar biasa –meski tidak harus sebesar lapangan bola- ketika harus mengikhlaskan sesuatu diambil dari kita. Indonesia saja yang moralnya sudah lama dicuri dan dicangkok dengan moral-moral baru yang lebih busuk tetap adem ayem dan tidak merasa harus protes karena kehilangan jati dirinya, apalagi kalau dicuri kekayaannya. Ini bukan sabar namanya. Wong saya ini sampai heran, sebenarnya siapa yang bodoh dan gak sadar-sadar kalau kita ini masih dijajah dan moral kita dicuri dan dicuci mati-matian. Saya? Atau mereka yang sekarang jadi mayoritas orang yang bangga dengan ikut-ikutan? Tapi karena suara terbanyak itu selalu benar di negeri ini, makanya saya sadar diri kalau sebenarnya otak saya yang lemot ini yang perlu dibasmi.



Mencuri Ilmu Mencuri Untuk Mencuri Ilmu


Saya selalu kagum dengan para guru yang selalu rela mengajarkan ilmunya pada murid-muridnya. Karena menurut saya, ilmu itu harusnya untuk dibagi, bukan dicuri. Walau saya selalu bingung membedakan mana ilmu curian dan mana ilmu yang benar-benar diturunkan.


Sahabat saya pernah bilang, “Ide itu nggak harus datang dari diri sendiri, bisa dari banyak sumber! Aku itu sering lho nyuri ide orang karena kupikir mubazir banget ide bagus tapi harus mati cuma karena dianya gak berani nyampein ke muka umum. Lagian, toh aku juga yang bakal dianggap keren!”. Sejauh yang dapat saya tangkap dengan otak minimalis yang saya miliki adalah meski niatnya baik untuk menghindari ‘kemubaziran ide’ –maksa-, tapi apa bagusnya mencuri ide orang. Bahkan sahabat saya itu menambahkan lagi, “Mencuri ide itu ada ilmunya tersendiri, ada seninya! Kita perlu tambah pernak-pernik disana-sini untuk beberapa penyesuaian biar ide itu jadi ‘gue banget’! Jadi kita gak sepenuhnya nyuri! Kan kita juga ikut nyempurnain idenya!”. Dan saya hanya bisa menanggapi dengan kata, “Hah?”, sembari membuat kesimpulan bahwa saya harus bangga memiliki sahabat yang ternyata masih keturunan suku Barbar.


Terlepas dari keinginan saya untuk belajar “ilmu mencuri” sahabat saya itu dengan mencurinya secara perlahan –karena saya tidak mungkin menjatuhkan harga diri saya untuk mengemis belajar padanya setelah dia habis-habisan saya hina kerena “pencuriannya”-, mata saya kian terbuka lebar –walau mata saya sebenarnya sudah lebar- bahwa Mencuri itu jelas salah. Tapi kalau yang dicuri saja gak merasa kalau dia kehilangan sesuatu yang harusnya dia jaga, yasud, salah siapa? Pencurinya atau yang punya?



Belajar Berjaga


Sebagai seorang muslim, saya marah dan memaki-maki orang-orang yang dengan tega mencuri ilmu kami dan mengadaptasinya nyata-nyata lalu mendoktrin kepada seluruh dunia bahwa itu ilmu pemikiran mereka. Meski spiritual agama saya patut dipertanyakan kelayakannya, tapi saya mengutuk habis-habisan kepada para pencuri ilmu itu.


Ilmu kedokteran, syariah, dan filsafat islam misalnya, siapa sekarang yang masih mengakui kehebatannya jika doktrin yang ada adalah bahwa ilmu itu adalah milik barat yang notabene telah mencurinya.


Selama ini saya terlalu sering menyalahkan para pencuri. Pencuri ide, pencuri moral, pencuri ilmu, dan yang pasti pencuri barang-barang berharga –saya sampai heran ketika melihat sebuah reportase tertutup tentang “Sekolah Mencuri” yang ada dan didirikan untuk menelurkan generasi-generasi pencuri yang profesional-. Saya terlalu naif untuk tidak mawas diri dan menganggap semua orang di dunia ini baik hati. Saya tidak pernah sadar untuk menjaga sesuatu sebelum saya kehilangan sesuatu itu sendiri. Dan saya tidak pernah belajar dari pengalaman para pendahulu saya untuk menjaga apa itu sesuatu yang berharga.


Saya terlalu angkuh dan sibuk menyalahkan sana-sini sehingga menutup mata mengapa ilmu itu bisa dicuri. Saya terlalu munafik menganggap kesalahan pencurian ini seutuhnya bukan karena kami. Kami lupa untuk menjaga apa yang seharusnya menjadi harta kita. Sudah seharusnya kita semua sadar untuk mulai melindungi apa yang kita miliki. Kalau memang caranya harus dengan mencuri, mengapa kita juga tidak memakai ilmu yang sama dalam mendoktrin mereka. Curi moral mereka dengan doktrin-doktrin yang lebih bermartabat dari yang mereka punya.


[Qt.]

3 comments:

  1. wah jadi pusing baca blokmu kit...
    berbagai macam pola cara kamu berpikir semakin mwmbuat beda dangan aslinya..

    da undangan join ne www.yahoogroups.com/groups/bengkelmc

    ReplyDelete
  2. ini tulisan udah sampe bulukan disimpen di komputermu ya kit?
    kayaknya nelangsa banget..
    hehe..

    ReplyDelete
  3. kira2 kalo tigger diadu ma kucingnya okyt menangan mana ya?eh kyt tuh si anis minta pertanggungjawabanmu atas kelahiran bayinya yang ke 99

    ReplyDelete

About This Kriminal

saya tidak pernah bermaksud untuk menggurui atau mendoktrin siapapun karena saya tidak hobi berperilaku untuk membentuk sebuah kepercayaan baru. saya adalah seorang pembelajar. superhuman. sama sama mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia dianugerahi nalar, akal, dan pikiran yang tidak hanya sekedar untuk dijadikan pajangan.

::..

jika saya salah, mohon untuk diingatkan. saya akan mencoba untuk bisa menemukan pemikiran yang sejalan.

::..

banyak banyak terima kasih saya sampaikan untuk anda yang sempat membaca. berani mencela. atau sekedar tertawa. dan saya tutup narasi ini dengan ajakan untuk kita sama sama memberikan banyak warna pada dunia.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP